Sahabat Ikon

Powered By Blogger

Tuesday, March 23, 2010

10 Sahabat Mendapat Jaminan Syurga

Abu Ubaidah Amir bin Abdillah bin Al Jarrah

Dia adalah Abu Ubaidah Amir bin Abdillah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah. Dia menyatakan keislamannya bersama-sama dengan Utsman bin Mazh'un. Dia hijrah ke Abisinia pada masa hijrah yang kedua. Abu Ubaidah telah ikut serta dalam perang Badar dan semua peperangan melawan musuh.

Pada Waktu perang Uhud, dia tetap setia bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada hari itu juga, dia telah menarik dengan mulutnya dua rantai topi perang yang masuk pada bagian pipi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua gigi serinya juga tanggal pada saat itu.
Ciri-ciri Fisik Abu Ubaidah

Abu Ubaidah adalah seorang laki-laki berpostur rubuh kurus tinggi. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang istri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.
Perjalanan Hidup Abu Ubaidah

Dari Abu Qilabah, dia berkata: Aku diberitahu oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap umat itu memiliki orang yang dapat dipercaya, dan sesungguhnya orang yang dapat dipercaya dikalangan kita –wahai sekalian orang (muslim)– adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah”. 1)

Dari sahabat Anas bin Malik bahwa ketika penduduk Yaman datang berkunjung kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka meminta beliau agar mengirimkan seseorang yang akan mengajari mereka mengenai As-Sunnah dan ajaran Islam. Maka, Rasulullah memegang tangan Abu Ubaidah bin Al Jarrah sembari bersabda, “Inilah orang yang dapat dipercaya dari kalangan umat ini.”2)

Dari Syuraih bin Ubaid, Rasyid bin As'ad, dan para perawi selain keduanya, mereka berkata: Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mendengar berita kalau di negeri Syam terjangkit wabah penyakit yang cukup gawat, maka dia berkata:“Telah sampai berita kepadaku bahwa di Syam terjadi wabah penyakit yang cukup parah.” Lalu Umar kembali berkata, “Jika ajalku menjemputku sedangkan Abu Ubaidah masih hidup, maka aku akan mengangkatnya sebagai khalifah. Jika Allah 'Azza wa Jalla bertanya kepadaku, Mengapa kamu mengangkatnya sebagai khalifah untuk umat ini? maka aku akn menjawab, bahwa seseungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya setiap Nabi memiliki seseorang yang dapat dipercaya. Sedangkan orang yang dapat aku percaya adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah'. Jika ajalku menjemputku sedangkan Abu Ubaidah juga telah meninggal dunia, maka aku akan mengangkat Muadz bin Jabal sebagai khalifah. Apabila Tuhanku 'Azza wa Jalla menanyaiku, 'Mengapa kamu mengangkatnya sebagai khalifah? maka aku akan menjawab, bahwa aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya dia (Muadz bin Jabal) akan digiring pada hari kiamat nanti di hadapan para ulama'.”

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhubahwa dia berkata kepada para sahabatnya, “Berangan-anganlah kalian!” Ada seorang laki-laki berkata, “Aku berangan-angan sendainya aku memiliki logam emas seisi rumah ini, maka aku akan menafkahkannya untuk kepentingan fi sabilillah (di jalan Allah).” Kemudian Umar kembali berkata, “Berangan-anganlah kalian!” Ada seorang laki-laki berkata, “Aku berangan-angan seandainya rumah ini terisi penuh dengan mutiara, batu mulia dan permata, maka aku akan menafkahkannya dan menyedekahkannya untuk kepentingan fi sabilillah.” Umar berkata untuk yang ketiga kalinya, “Berangan-anganlah kalian!” Maka mereka berkata, “Kami tidak tahu ,wahai Amirul Mukminin!” Maka Umar berkata, “Aku berangan-angan, seandainya rumah ini terisi penuh dengan orang-orang semisal Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”

Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dia berkata, “Ketika Umar tiba di Syam, orang-orang dan para tokoh daerah itu langsung menemuinya. Maka Umar berkata, 'Di manakah saudaraku?' Orang-orang bertanya, 'Siapa?' Umar menjawab, Abu Ubaidah'. Orang-orang berkata, 'Tidak lama lagi dia akan datang kepadamu'. Ketika Abu Ubaidah datang kepada Umar, dia turun (dari hewan tunggangannya) kemudian memeluknya. Lalu Umar masuk kedalam rumah Abu Ubaidah. Dia tidak melihat harta benda di dalam rumah Abu Ubaidah, kecuali hanya pedang, perisai dan pelana. Umar berkata kepada Abu Ubaidah, 'Tidakkah kamu ingin memiliki sesuatu yang dimiliki oleh sahabat-sahabatmu?' Abu Ubaidah menjawab, ' Wahai Amirul Mukminin, (cara hidup seperti) inilah yang bisa menyampaikan aku pada tempat peristirahatan'.” (HR. Imam Ahmad)

Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin al Jarrah ra
Ia cucu Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin al Harrits bin Fihr bin Malik. Dilahirkan Ummu Ghanm binti Jabir bin Abdul Uzza bin Amir bin Umairah bin Wadi’ah bin Al Harits bin Fihr. Dalam riwayat lain: Umaimah binti Ghanm bin Jabir bin Abdul Uzza. Bertemu silisilah/keturunan dengan Rasulullah saw di Fihr bin Malik.
Abu Ubaidah masuk Islam pada awal datangnya Islam di Mekah, sebelum Rasulullah saw masuk Darul Arqam. Turut serta dalam Perang Badar dan beberapa peperangan setelahnya bersama Rasulullah SAW. Pada saat Perang Uhud, ia mencabut dua gelang (dari rajutan baju besi) yang menancap di wajah Rasulullah saw dengan gigi depannya. Akibatnya, tanggallah 2 giginya.
Keturunan Abu Ubaidah ra, hanya 2 putera, yaitu Yazid dan Umar. Namun mereka meninggal, dan tak terdapat lagi penerus generasi Abu Ubaidah.
Abu Ubaidah ra. wafat karena wabah penyakit tha’un amwas pada tahun 18 H. Ia dimakamkan di Ghour Baisan di Desa Amta’. Saat itu usianya 58 tahun. Muadz bin Jabal ra. ikut menshalati jenazahnya. Ada riwayat lain menyebutkan Amr bin A’sh pun ikut.
Pada saat Perang Badar Abu Ubaidah membunuh ayahnya yang saat itu masih kafir. Karena peristiwa ini Allah menurunkan ayat:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

10 Sahabat Mendapat Jaminan Syurga

SAIDINA ABDUL RAHMAN BIN AUF

Abdul Rahman Bin Auf adaltah salah seorang sahabat Rasulullah yang akrab. Beliau juga adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang terkaya sebagaimana juga halnya dengan Saiyidina Uthman Bin Affan r.a. Menurut ahli sejarah, Abdul Rahman Bin Auf dilahirkan 10 tahun sesudah tahun gajah dan beliau hidup sebagai seorang pemuda Quraisy dikota Mekah yang ketika itu penuh dengan bermacam-macam kemaksiatan jahiliah berupa penyembahan berhala maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Namun demikian Abdul Rahman terhindar dan bermacam-macam kejahatan yang berleluasa ketika itu. Bahkan sebelum memeluk agama Islam lagi, Abdul Rahman Bin Auf telah mempunyai anggapan bahawa minuman arak itu adalah terlarang.

Abdul Rahman Bin Auf telah memeluk Islam sebelum Rasulullah s.a.w memasuki Darul Arqam lagi. Dengan hal demikian nyatalah bahawa beliau tergolong orang-orang Islam yang permulaan dan menurut riwayat beliau adalah orang yang 8 dan orang-orang permulaan yang memeluk Islam. Adalah diriwayatkan bahawa ibu Abdul Rahman Bin Auf sesudah mengetahui Abdul Rahman Bin Auf memeluk Islam, iapun berkata kepada anaknya, "Aku akan berjemur dipanas matahari yang terik di waktu siang dan di waktu ma1am yang sejuk aku akan bermalam diruang lapang, hinggalah engkau mengaku akan kembali semula kepada agama nenek moyangmu. Dimikian ibunya mengancam. Sungguhpun begitu Abdul Rahman Bin Auf tetap tegak memeluk ugama suci dan mencintai Rasulullah S.A.W.

Adapun nama asal Abdul Rahman sebelum beliau memeluk Islam ialah Abdul Ka'abah, tetapi kemudian setelah Islam beliau menukar namanya kepada Abdul Rahman. Sebagai seorang sahabat Rasulullah yang akrab, Abdul Rahman mempunyai satu keistimewaan yang khas iaitu berjuang untuk menegakkan ugama Allah bukan saja dengan pedangnya bahkan dengan harta dan kekayaannya. Beliaulah antara para sahabat yang banyak sekali mengorbankan kekayaannya untuk memperjuangkan kepentingan Islam. Abdul Rahman pernah membahagikan dua kekayaannya untuk dibahagikan kepada fakir miskin dan pernah pula menyerahkan seluruh kekayaannya untuk keperluan sabilillah demi menegakkan panji-panji Islam.

Ramai sahabat yang telah memimpin penjuangan Islam dan menyibarkan syiar Islam yang berjuang sebagai panglima atau sebagai pahlawan Islam yang dikenal sejarah, tetapi Abdul Rahman Bin Auf telah melakukan kepahlawanannya dengan jalan menyerahkan seluruh kekayaannya dalam menegakkan Islam.

Sebagai seorang Islam yang permulaan, Abdul Rahman Bin Auf juga telah mengalami berbagai penderitaan dan penyiksaan dari masyarakat Quraish di Mekah. Oleh kerana memandangkan keadaan kaum Muslimin yang sangat sedikit itu sementelahan pula mengalami berbagai macam ancaman maka Rasulullah s.a.w akhirnya telah memerintahkan para pengikutnya supaya melakukan hijrah ke negeri Abbysinia kerana menurut Rasul disana ada sebuah kerajaan yang tidak berlaku zalim terhadap rakyatnya. Tidak lama kemudian maka berangkatlah rombongan pertama yang melakukan hijrah yang terdiri dan 10 orang lelaki dan 4 orang wanita dan 17 wanita serta anak-anak. Dan diantara yang melakukan hijrah yang terdiri dan 10 orang lelaki dan 4 orang wanita lalu disusul dengan rombongan kedua yang terdiri dan 83 lelaki dan 17 wanita serta anak-anak. Dan di antara yang melakukan hijrah tersebut termasuklah Abdul Rahman Bin Auf.

Tidak lama kemudian Abdul Rahman Bin Auf dan beberapa temannya telah kembali ke kota Mekah sehingga sampai pada waktu Allah s.w.t memenintahkan kepada Rasulullah s.a.w untuk melakukan hijrah keYathrib( Madinah) dilakukan Rasulullah sendiri dan para sahabatnya dan diantaranya termasuk juga Abdul Rahman Bin Auf.

Setiba di Madinah sebagaimana yang diperlakukan oleh Rasul terhadap lain-lain sahabat dalam rangka memberikan bantuan, maka Abdul Rahman Bin Auf telah dipersaudarakan oleh Baginda dengan Sa'ad Bin Rabi' seorang daripada golongan Ansar.

Demi kecintaan Saad Bin Rabi' kepada saudaranya dan golongan Muhajirin, beliau telah mengatakan kepada Abdul Rahman demikian antara lainnya, "Saudara, ketahuilah bahawa saya adalah seorang Ansar yang banyak harta, dan kiranya saudara sudi ambillah separuh dan kekayaan saya itu. Saya juga mempunyai dua orang isteri dan kiranya Saudara sudi mana satu antaranya, saya sedia mencaraikannya supaya boleh saudara mengahwininya. Mendengarkan kata-kata sahabatnya itu Abdul Rahman Bin Auf seraya menjawab, "Saudaraku, semoga Allah akan memberikan berkat terhadap keluarga dan hartabenda saudara. Janganlah disusahkan tentang din saya ini, yang penting bagi saya ialah kiranya saudara sudi menunjukkan saya jalan menuju ke pasar.

Sungguh beliau memang seorang pedagang yang berbakat dan pintar. Dalam sekejap masa saja beliau berjaya menunjukkan keahliannya dalam berdagang hingga berjaya memperoleh harta yang banyak. Beliau mempunyai 100 ekor kuda yang dapat dipergunakan dalam peperangan 100 ekor unta dan 10,000 ekor kambing sehingga diwaktu beliau meninggal, tatkala dihitung seperempat dan kekayaannya menyamai jumlah 84 ribu dinar. Akan tetapi disamping kekayaannya yang melimpah-limpah itu, bellau termasuk orang yang paling dermawan dan paling pemurah juga merupakan seorang tokoh sahabat yang paling banyak berbuat kebajikan terhadap kaum fakir miskin.

Pada zaman Rasulullah S.A.W, beliau pernah membahagikan seluruh kekayaannya dan menyerahkan yang sebahagian itu kepada orang-orang yang memerlukannya. Pernah terjadi dalam satu peristiwa, Abdul Rahman Bin Auf mengeluarkan sedekah sekali duduk sebesar 40 ribu dinar, dan pernah ia membiayai peperangan dengan menyediakan perlengkapan sebanyak 500 ekor kuda tempur lengkap dengan senjatanya pakaian makanan untuk dipergunakan oleh para perajurit dan juga dalam waktu yang sama membawa konvoi perbekalan yang diangkut oleh 500 unta.

Memandangkan jasa dan pengorbanan menegakkan Islam dengan hanta kekayaannya Rasulullah S.A.W pernah bersabda, "Abdul Rahinan Bin Auf adalah saudagar Tuhan " sebagai memujinya atas peranannya menegakkan ugama ALlah dengan harta kekayaan. Dalam satu riwayat lain pula Rasulullah pernah bersabda, "Sesungguhnya mereka yang memelihara keluarga saya setelah saya meninggal dunia adalah manusia yang benar dan manusia yang mempunyai kebajikan. Dalam hal ini Abdul Rahmanlah salah seorang sahabat yang menyahut seruan Rasulullah s.a.w kerana beliaulah yang menyiapkan kemudahan untuk Ummul Mu'minin dalam melakukan ibadah haji dibawah lindungan beliau.

Disamping memiliki kekayaan yang melimpah-limpah beliau adalah seorang yang takut dan benci kepada harta kekayaan dan selalu menghindarkan din dan penganuh kekayaannya. Adalah diriwayatkan bahawa pada suatu han Abdul Rahman Bin Auf menangis tersedu-sedu lalu ia ditanyai orang apakah yang menyebabkan beliau menangis itu, lalu dijawabnya, "Sesungguhnya Mas'ab adalah lebih baik daripadaku kerana ia meninggal dunia di zaman Rasul dan diwaktu meninggal dunia ia tidak memiliki sepotong kain yang dapat dijadikan kafan untuk membungkusnya. Sesungguhnya Hamzah Bin Muttalib adalah manusia yang lebih utama daripada saya padahal ia tidak mempunyai kain yang dapat dijadikan kafan untuk memakamkannya. Saya khuatir saya ini termasuk di antara orang-orang yang dipercepat untuk menikmati kebahgiaan dunia fana ini dan saya khuatir bahawa saya akan tersisih daripada para sahabat Nabi diAkhirat kelak disebabkan kerana saya mempunyai banyak harta. Dalam satu riwayat yang lain pula diceritakan orang bahawa tatkala Abdul Rahman Bin Auf memberikan makanan kepada tamunya beliau tiba-tiba menangis lalu ditanyai orang, "Mengapakah engkau menangis hai Ibnu Auf ?" Ia lalu menjawab, "Nabi telah wafat, sedangkan ia dan keluarganya tidak pernah kenyang oleh roti gandum.

Demikianlah jiwa Abdul Rahman Bin Auf salah seorang sahabat besar Rasulullah. Memandangkan besarnya semangat pengorbanannya itu maka tidaklah hairan kiranya Rasulullah s.a.w mengatakan bahawa Abdul Rahman adalah di antara sepuluh orang yang telah digembirakan oleh baginda Rasul akan memasuki syurga.

Dizaman Khalifah Umar Al Khattab, Abdul Rahman Bin Auf telah memperoleh kehormatan dan keutamaan di sisi Khalifah. Di zaman Khalifah, beliau pernah dilantik oleh Khalifah Umar untuk memimpin rombongan haji pada tahun pertama setelah Saiyidina Umar dipilih sebagai khalifah. Malah beliau jugalah salah seorang yang telah diwasiatkan oleh Khalifah Umar Al Khattab sebelum kewafatan beliau menjadi salah seorang ahli dalam majlis jawatankuasa di antara enam orang anggota bagi memilih calon khalifah yang akan menggantikan baginda. Beliaulah juga tokoh yang mengetuai tugas untuk menentukan siapakah yang bakal menggantikan Khalifah Umar Al Khattab sebagai khalifah ketiga umat Islam yang akhirnya jatuh ketangan Saiyidina Uthman Bin Affan r.a.

Pada tahun 31 Hijrah, setelah menempuh hidup didunia yang fana mi selama 74 tahun, berpulanglah tokoh sahabat besar ini kerahmatullah. Dalam usia 75 tahun. Dan sebelum meninggalnya, Ummul Mu'minin Aisyah telah menawarkan bahawa jika ia menghendakinya akan ditempatkan kuburannya nanti di sisi kuburan Nabi, Abu Bakar dan Umar r.a. Dengan suara yang merendah diri ia menjawab bahawa ia malu jika diberi kedudukan yang sedemikian tingginya untuk berkubur di samping Rasul. Dan ia juga menyatakan bahawa dirinya telah terikat janji dengan Uthman Bin Mazh'un bahawa jika salah satu di antara mereka berdua meninggal dunia lebih dahulu, maka ia akan berkubur di samping kuburan kawannya yang lain. Jenazah beliau telah dikebumikan di Baqi dan disembahyangkan oleh Saiyidina Uthman Bin Affan, Zubair Ibnul Awwam dan lain-lain tokoh sahabat.

Sa'ad menunjukkan pasar tempat berjual beli kepada Abdurrahman. Maka, mulailah Abdurrahman berniaga di sana, berjual beli, melaba dan merugi. Belum berapa lama dia berdagang, terkumpullah uangnya sekadar cukup untuk mahar menikah. Dia datang kepada Rasulullah memakai harum-haruman...

----------

Abdurrahman bin Auf

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan yang mula-mula masuk Islam; termasuk kelompok sepuluh yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga; termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah (sebagai formatur) dalam pemilihan khalifah sesudah Umar bin Khattab r.a.; dan seorang mufti yang dipercayai Rasulullah saw. untuk berfatwa di Madinah selagi beliau masih hidup di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin.

Namanya pada masa jahiliah adalah Abd Amr. Setelah masuk Islam Rasulullah saw. memanggilnya Abdurrahman bin Auf. Itulah dia Abdurrahman bin Auf r.a.

Abdurrahman bin Auf masuk Islam sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Al-Arqam, yaitu dua hari sesudah Abu Bakar ash-Shidiq masuk Islam. Sama halnya dengan kelompok kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy, tetapi dia sabar dan tetap sabar. Pendiriannya teguh dan senantiasa teguh. Dia menghindari dari kekejaman kaum Quraisy, tetapi selalu setia dan patuh membenarkan risalah Muhammad. Kemudian dia turut pindah (hijrah) ke Habasyah bersama-sama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan kaum Quraisy yang senantiasa menerornya.

Tatkala Rasulullah saw. dan para sahabat beliau diijinkan Allah hijrah ke Madinah. Abdurrahman menjadi pelopor bagi orang-orang yang hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam perantauan, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar. Maka Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi' al-Anshari r.a.

Pada suatu hari Sa'ad berkata kepada saudaranya, Abdurrahman, "Wahai saudaraku Abdurrahman! Aku termasuk orang kaya di antara penduduk Madinah. Hartaku banyak. Saya mempunyai dua bidang kebun yang luas, dan dua orang pembantu. Pilihlah olehmu salah satu di antara kedua kebun itu, kuberikan kepadamu mana yang kamu sukai. Begitu pula salah seorang di antara kedua pembantuku, akan kuserahkan mana yang kamu senangi, kemudian aku nikahkan engkau dengan dia."

Jawab Abdurrahman bin Auf, "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Saudara, kepada keluarga Saudara, dan kepada harta Saudara. Saya hanya akan minta tolong kepada Saudara menunjukkan di mana letaknya pasar Madinah ini."

Sa'ad menunjukkan pasar tempat berjual beli kepada Abdurrahman. Maka, mulailah Abdurrahman berniaga di sana, berjual beli, melaba dan merugi. Belum berapa lama dia berdagang, terkumpullah uangnya sekadar cukup untuk mahar menikah. Dia datang kepada Rasulullah memakai harum-haruman. Beliau menyambut kedatangan Abdurrahman seraya berkata, "Wah, alangkah wanginya kamu, hai Abdurrahman."

Kata Abdurrahman, "Saya hendak menikah ya Rasulullah."


Tanya Rasulullah, "Apa mahar yang kamu berikan kepada istrimu?"
Jawab Abdurrahman, "Emas seberat biji kurma."

Kata Rasulullah, "Adakan kenduri, walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu."

Kata Abdurrahman, "Sejak itu dunia datang menghadap kepadaku (hidupku makmur dan bahagia). Hingga seandainya aku angkat sebuah batu, maka dibawahnya kudapati emas dan perak."

Dalam Perang Badar, Abdurrahman turut berjihad fi sabilillah, dan dia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, antara lain Umair bin Utsman bin Ka'ab bin Auf at-Taimy. Dalam Perang Uhud, dia tetap teguh bertahan di samping Rasulullah, ketika tentara muslimin banyak yang meninggalkan medan laga. Ketika selesai perang dan kaum muslimin keluar sebagai pemenang, Abdurrahman mendapatkan hadiah sembilan luka parah menganga di tubuhnya dan dua puluh luka kecil. Walau luka kecil, namun di antaranya ada yang sedalam anak jari. Sekalipun begitu, perjuangan dan pengorbanan Abdurrahman di medan tempur jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanannya dengan harta benda.

Pada suatu hari Rasulullah saw. berpidato membangkitkan semangat jihad dan pengorbanan kaum muslimin. Beliau berdiri ditengah-tengah para sahabat. Kata beliau, antara lain, "Bersedekahlah tuan-tuan! Saya hendak mengirim satu pasukan ke medan perang."

Mendengar ucapan Rasulullah saw. tersebut, Abdurrahman bergegas pulang ke rumahnya dan cepat pula kembali ke hadapan Rasululalh di tengah-tengah kaum muslimin. Katanya, "Ya Rasulallah! saya mempunyai uang emapt ribu. Dua ribu saya pinjamkan kepada Allah dan dua ribu saya tinggalkan untuk keluarga saya." Lalu uang yang dibawa dari rumah itu diserahkan kepada Rasulullah dua ribu.

Sabda Rasulullah, "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu terhadap harta yang kamu berikan dan semoga Allah memberkati pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu."

Ketika Rasulullah bersiap untuk menghadapi Perang Tabuk, beliau membutuhkan jumlah dana dan tentara yang tidak sedikit, karena jumlah tentara musuh, yaitu tentara Rum cukup banyak. Di samping itu, Madinah tengah mengalami musim panas. Perjalanan ke Tabuk sangat jauh dan sulit. Dana yang tersedia hanya sedikit. Begitu pula hewan kendaraan tidak mencukupi. Banyak di antara kaum muslimin yang kecewa dan sedih karena ditolak Rasulullah saw. menjadi tentara yang akan turut berperang, sebab kendaraan untuk mereka tidak mencukupi. Mereka yang ditolak itu kembali pulang dengan air mata bercucuran kesedihan, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk disumbangkannya. Mereka yang tidak terima itu terkenal dengan nama Al-Bakkaain (orang yang menangis) dan pasukan yang berangkat terkenal dengan sebutan Jaisyul 'Usrah (pasukan susah).

Karena itu, Rasulullah memerintah kaum muslimin mengorbankan harta benda mereka untuk jihad fie sabilillah. Dengan patuh dan setia kaum muslimin memperkenankan seruan Nabi yang mulia. Abdurrahman turut memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Maka kata Umar bin Khattab berbisik kepada Rasulullah saw., "Agaknya Abdurrahman berdosa, tidak meninggalkan uang sedikit juga untuk istrinya."

Rasulullah saw. bertanya kepada Abdurrahman, "Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk istrimu?"

Abdurrahman menjawab, "Ada! mereka saya tinggali lebih banyak daripada yang saya sumbangkan."

Tanya Rasulullah saw., "Berapa?"

Jawab Abdurrahman, "Sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."

Pasukan tentara muslimin berangkat ke Tabuk. Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperolah kaum muslimin seorang jua pun, yaitu ketika waktu salat sudah masuk, Rasulullah terlambat hadir. Maka, Abdurrahman menjadi imam salat berjamaah bagi kaum muslimin ketika itu. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu beliau salat di belakang Abdurrahman dan mengikutinya sebagai makmum. Apakah lagi yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad Rasulullah saw.

Setelah Rasululalh saw. wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan ummahatul mukminin (istri para Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu yang mulia itu bila bepergian. Apabila para ibu tersebut pergi haji, Abdurrahman turut pula bersama-sama mereka. Dia yang menaikkan dan menurunkan para ibu itu ke atas haudaj (sekedup) khusus mereka. Itulah salah satu bidang khusus yang ditangani Abdurrahman. Dia pantas bangga dan bahagia dengan tugas dan kepercayaan yang dilimpahkan para ibu orang-orang mukmin kepadanya.

Salah satu bukti yang dibaktikan Abdurrahman kepada ibu-ibu yang mulia, ia pernah membeli sebidang tanah seharga empat ribu dinar. Lalu tanah itu dibagi-bagikannya seluruhnya kepada fakir miskin Bani Zuhrah dan kepada para ibu-ibu orang mukmin, istri Rasulullah. Ketika jatah ibu Aisyah r.a. disampaikan orang kepadanya, ibu yang mulia itu bertanya, "Siapa yang menghadiahkan tanah itu buat saya?"

Orang itu menjawab, "Abdurrahman bin Auf."

Kata ibu Aisyah r.a., Rasulullah saw. pernah bersabda, "Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku, kecuali orang-orang yang sabar."

Begitulah doa Rasulullah saw. bagi Abdurrahman. Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya sepanjang hidupnya, sehingga Abdurrahman menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Perniagaannya selalu meningkat dan berkembang. Kafilah dagangnya terus-menerus hilir mudik dari dan ke Madinah mengangkut gandum, tepung, minyak, pakaian, barang-barang pecah-belah, wangi-wangian dan segala kebutuhan penduduk.

Pada suatu hari iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman terdiri dari tujuh ratus unta bermuatan penuh tiba di Madinah. Ya! tujuh ratus ekor unta bermuatan penuh, tidak salah. Semuanya membawa pangan, sandang, dan barang-barang lain kebutuhan penduduk. Ketika mereka masuk kota, bumi seolah-olah bergetar. Terdengar suara gemuruh dan hiruk pikuk. Sehingga Aisyah bertanya, "Suara apa hiruk pikuk itu?"

Dijawab orang, "Kafilah Abdurrahman dengan iring-iringan tujuh ratus ekor unta bermuatan penuh membawa pangan, sandang serta lainnya.

Kata Asiyah r.a. "Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Saya mendengar Rasululalh saw. bersabda, "Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak (karena surga sudah dekat sekali kepadanya)."

Sebelum menghentikan iring-iringan unta, seorang pembawa berita mengatakan kepada Abdurrahman bin Auf berita gembira yang disampiakan Aisyah, bahwa Abdurrahman bin Auf masuk surga. Serentak mendengar berita itu, bagaikan terbang ia menemuai ibu Aisyah. Katanya, "Wahai Ibu, apakah Ibu mendengar sendiri ucapan itu diucapkan Rasulullah?"

Jawab Aisyah, "Ya, saya mendengar sendiri."

Abdurrahman melonjak kegirangan. Katanya, "Seandainya aku sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Sudilah ibu menyaksikan, kafilah ini dengan seluruh kendaraan dan muatannya, kuserahkan untuk jihad fisabilillah.

Sejak berita yang membahagiakan itu, Abdurrahman pasti masuk surga, maka semangatnya semakin memuncak mengorbankan kekayaannya di jalan Allah. Hartanya dinafkahkannya dengan kedua belah tangan, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, sehingga mencapai 40.000 dirham perak. Kemudian menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu dia bersedekah lagi 200 uqiyah emas. Lalu diserahkannya pula 500 ekor kuda kepada para pejuang. Sesudah itu 1500 ekor unta untuk pejuang-pejuang lainnya dan tatkala dia hampir meninggal dunia, dimerdekakannya sejumlah besar budak-budak yang dimilikinya. Kemudian diwasiatkannya supaya memberikan 400 dinar emas kepada masing-masing bekas pejuang Perang Badar. Mereka berjumlah seratus orang, dan semua mengambil bagiannya masing-masing. Dia berwasiat pula supaya memberikan hartanya yang paling mulia untuk para ibu-ibu orang mukmin, sehingga ibu Aisyah sering mendoakannya, "Semoga Allah memberikannya minum dengan minuman dari telaga salsabil."

Di samping itu, dia meningggalkan warisan pula untuk ahli warisnya sejumlah harta yang hampir tidak terhitung banyaknya. Dia meninggalkan kira-kira 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3000 ekor kambing, dia beristri empat orang. Masing-masing mendapatkan pembagian khusus 80.000, di samping itu masih ada peninggalannya berupa emas dan perak, yang kalau dia bagi-bagikan kepada ahli warinsnya dengan mengampak, maka potongan-potongannya cukup menjadikan seorang ahli warisnya manjadi kaya raya.

Begitulah karunia Allah SWT kepada Abdurrahman berkat doa Rasulullah kepadanya semoga Allah memberkatinya dan hartanya.

Walaupun begitu kaya rayanya, harta kekayaan itu seluruhnya tidak mempengaruhi jiwanya yang penuh iman dan takwa. Apabila ia berada di tengah-tengah budaknya, orang tidak dapat membedakan di antara mereka, mana yang majikan dan mana yang budak.

Pada suatu hari dihidangkan orang kepadanya makanan, padahal dia puasa. Dia menengok makanan itu seraya berkata, "Mushab bin Umair tewas di medan juang. Dia lebih baik daripada saya, waktu dikafani, jika kepalanya ditutup, maka terbuka kainnya. Kemudian Allah membentangkan dunia ini bagi kita seluas-luasnya. Sesungguhnya saya sangat takut kalau-kalau pahala untuk kita disegerakan Allah memberikannya kepada kita (di dunia ini)."

Sesudah berkata begitu, dia mengangis tersedu-sesudu, sehingga nafsu makannya jadi hilang.

Berkatalah Abdurrahman bin Auf dengan ribuan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Rasulullah saw. yang ucapannya selalu terbukti benar telah memberinya kabar gembira dengan surga jannatun na'im.

Telah turut menghantarkan jenazahnya ke tempatnya terakhir di dunia, antara lain sahabat yang mulia Sa'ad bin Abi Waqqash. Pada salat jenazahnya turut pula, antara lain, Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Kata sambutan saat pemakaman, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Dalam sambutannya antara lain Ali berkata, "Anda telah mendapatkan kasih sayang, dan Anda berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati Anda. Amin!"



Ketika mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?”

“Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya,” seseorang menjawab.

Ummul Mukminin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”

“Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.”

Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.

Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”

Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.

“Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut ken¬daraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.”

Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang diken¬dalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta ke¬mudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal.

Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf.

Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah bersatu dengan Abdur¬rahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.”

Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia memikirkan harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.

Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka puasa. Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka kepalanya.”

Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan dengan suara yang juga masih terisak dan berat, “Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”

Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.

Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?”

Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa be¬tapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini.

Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, “Rasulullah saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?”

Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap ridha Allah. (sa)

Kehidupan Abdurrahman bin ‘Auf di Madinah baik semasa Rasulullah saw mahupun sesudah wafatnya terus meningkat. Barang apa saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini ditujukan untuk mencapai redha Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak.

Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat kerana ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat. Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, kerana labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri, tapi di dalamnya terdapat bahagian Allah yang ia penuhi dengan setepat-tepatnya, pula digunakannya untuk memperkukuh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam.

Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin ‘Auf itu dapat dikira-kirakan apabila kita memperhatikan nilai dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul’alamin!

Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Wahai ibnu ‘Auf! Anda termasuk golongan orang kaya dan anda akan masuk syurga secara perlahan-lahan! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda!”
Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,

يَا ابْنَ عَوْفٍ، إِنَّكَ مِنَ اْلأَغْنِيَاءِ، وَإِنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا، فَأَقْرِضِ اللهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ

"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)
Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyediakan bagi Allah pinjaman yang balk, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.

Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian wang itu dibahagi-bahagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.

Diserahkannya pada suatu hari 500 ekor kuda untuk perlengkapan bala tentera Islam, dan di hari yang lain 1500 kenderaan. Menjelang wafatnya ia berwasiat 50.000 dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup, masing-masing 400 dinar, hingga Utsman bin Affan r.a yang terbilang kaya juga mengambil bahagiannya dari wasiat itu, serta katanya, “Harta Abdurrahman bin ‘Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkah.”

Ibnu ‘Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mahu celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya. Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan kerana begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang, “Seluruh penduduk Madinah bersekutu dengan Abdurrahman bin ‘Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibahagi-bahagikannya kepada mereka.”

Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu.

Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, kerana waktu itu ia sedang shaum. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi ia pun menangis sambil mengeluh, “Mushab bin Umair telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya! Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami!”

Pada suatu peristiwa lain sebahagian sahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis; kerana itu mereka bertanya, “Apa sebabnya anda menangis wahai Abu Muhammad?” Ujarnya, “Rasulullah saw telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita?”

Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikitpun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya! Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya, “Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, nescaya ia tak akan sanggup membezakannya dari antara mereka!”

Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan ibnu ‘Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahuinya bahawa di badannya terdapat dua puluh bekas luka di perang Uhud, dan bahawa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacat pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya, sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya. Di waktu itulah orang baru akan menyedari bahawa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf! Semoga Allah redha kepadanya dan ia pun redha kepada Allah!

Sudah menjadi kebiasaan pada tabi’at manusia bahawa harta kekayaan mengundang kekuasaan, ertinya bahawa orang-orang kaya selalu tamak untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan.

Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabi’at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian yang unik.

Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.

Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan Ibnu ‘Auf. Bahkan sebahagian shahabat telah menegaskan bahawa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujarnya, “Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah!”

Demikianlah, baru saja kelompok enam formatur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al-Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya yang lima dinyatakannya bahawa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas di antara mereka yang berlima saja.

Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin ‘Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara Imam Ali mengatakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, bahawa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi!”

Oleh Ibnu ‘Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.

Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa keperibadiannya dengan sebaik-baiknya?

Dan pada tahun 32 Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya. Ummul Mu’minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di perkarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar.

Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut!

Pula dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madh’un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat shahabatnya itu.

Selagi ruhnya bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata, “Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku kerana kekayaanku yang melimpah ruah!”

Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lain satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan suka cita yang memberi cahaya serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa. Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu, seolah-olah ada suara yang lernbut merdu yang datang mendekat.

Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw yang pernah beliau ucapkan, “Abdurrahman bin ‘Auf dalam syurga!”, lagi pula ia sedang mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya, “Orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannnya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, nescaya mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; Mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita.” (QS Al-Baqarah [2]:262)


Sosok Abdurrahman bin auf memang menjadi ikon tersendiri tentang kekayaan jaman sahabat. Dan kekayaan beliau bukan isapan jempol belaka. Pernah suatu ketika iring-iringan barang dagangnya yang mencapai 700 unta, sampai menggegerkan warga Madinah karena suara ribut yang dihasilkannya. Tapi sesungguhnya bukan itu saja, masih banyak lagi aset beliau yang sangat banyak, bahkan konglomerat jaman ini pun tak bisa menyainginya.

Jangan Cuma percaya aja kalau beliau sahabat yang kaya raya, tapi mari kita lihat coba menganalisa perkiraan total kekayaan beliau, dari beberapa riwayat tentang sejarah hidupnya dalam Kitab Asadul Ghoba. Semua untuk menambah keyakinan, bahwa sejarah orang Islam juga diwarnai sejarah orang-orang kaya !

Cara Pertama : Menghitung Infak beliau ketika masih Hidup dan Peninggalannya

INFAK BELIAU SEMASA HIDUP (yang terdokumentasikan)
1)Sedekah pertama 4.000 dinar (Rp 4,250,000,000)
2) Sedekah kedua 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000 )
3) Sedekah ketiga 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000)
4) Sedekah berupa Unta fisabilillah sebanyak 1.000 ekor (Rp 10,000,000,000 )
5) Tanah untuk Istri2 Rasulullah 40.000 dinar (42,500,000,000 )
Sehingga total perkiraan Infak Beliau saat masih Hidup Rp 141,750,000,000

HARTA BELIAU SAAT MENINGGAL
1) Berwasiat untuk fii sabilillah 50.000 dinar (Rp 53,125,000,000)
2) Berwasiat untuk para veteran Badr 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000)
3) Berwasiat unta fii sabilillah 1.000 ekor (Rp 10,000,000,000 )
4) Hewan Ternak – unta 1.000 ekor (Rp 10,000,000,000 )
5) Kuda 100 ekor (Rp 1,000,000,000 )
6) Kambing 1.300 ekor (1,300,000,000 )
7) Ganti Hak waris untuk 4 istrinya 320.000 dinar (Rp 340,000,000,000)

Perkiraan Harta Tinggalan Beliau Rp 457,925,000,000
TOTAL PERKIRAAN ASET MINIMAL Rp 599,675,000,000 ( Rp 600 Milyar )

Cara Kedua : Menghitung Ganti Waris untuk keempat Istrinya

Diriwayatkan bahwa keempat istri Abdurrahman bin Auf mendapatkan ganti hak waris sebesar 80.000 dinar ( Rp 85 milyar) peristri, sehingga total ganti waris untuk keempat istrinya adalah Rp 340 Milyar. Nah, sesuai dengan hukum waris ( melalui pendekatan perkiraan ) bahwa jatah waris istri-istri adalah seperdelapan dari total warisan. Itu berarti angka Rp 340 M baru seperdelapan kekayaan total beliau. Sehingga asumsi minimalnya, kekayaan warisan beliau totalnya adalah Rp 340 M x 8 = Rp 2,72 Trilyun.

Nah ! Baru tahu kan seberapa besar kekayaan Abdurrahman bin Auf ? Tapi sekali lagi, paparan di atas itu baru perkiraan MINIMAL , ada beberapa aset yang tidak bisa kami analisa karena tidak jelas berapa nilainya. Seperti : Diriwayatkan bahwa ketika beliau meninggal, masih ada peninggalan beliau yang berupa LOGAM EMAS YANG SANGAT BESAR ! Bahkan mereka yang mencoba memotongnya dengan kapak pun tangannya menjadi pegal bengkak-bengkak !
Bayangin aja sobat, segedhe apa tuh emas warisan Abdurrahman bin Auf.

Jadi kalau kita perkirakan sesuai analisa di atas, bahwa harta beliau berkisar antara Rp 600 Milyar hingga Rp 2,7 Trilyun, itu belum termasuk bongkahan emasnya ! Bayangin pula, mana ada di dunia ini yang ketika meninggal bagi-bagi harta sampai sebesar itu ? Bahkan empat istri tercintanyapun langsung dapat ganti waris secara cash masing-masing 85 milyar !

Bukan itu saja, yang lebih membuat kita kagum bahwa beliau itu jelas tercatat mendapat jatah SURGA AWARD, yaitu nama beliau termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah SAW ! Subhanallah, persis jargon anak muda zaman ini ; tua kaya raya dan mati masuk surga !
Nah berani kaya ? harus berani mencontoh Abdurrahman bin Auf ; luar dalam..


Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, "Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah."

Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi."

Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.

Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya.

Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, "Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki."

Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, "Abdurrahman bin Auf masuk surga."

Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu-dian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262).

10 Sahabat Mendapat Jaminan Syurga

ZAID BIN ‘AMR BIN NUFAIL

Kirim Print

Beliau adalah Sa’id bin Zaid –semoga Allah meridloinya- salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, tumbuh di rumah dan keluarga yang tidak merasa asing akan iman, bapaknya bernama Zaid bin Amru bin Nufail yang sudah sejak lama meninggalkan sembahan berhala, dan kembali kepada menyembah Allah dan agama Ibrahim, dimana beliau pernah menyandarkan kepalanya di dinding Ka’bah dan berkata : “Wahai penduduk Quraisy, demi Allah tidak ada seorangpum selain saya yang mengikuti agama nabi Ibrahim”. (Ibnu Hisyam), Sa’id tumbuh yang semenjak kecilnya dengan agama yang suci seperti bapaknya, dan saat mendengar seruan Islam beliaupun segera memeluk Islam, yaitu pada saat Rasulullah saw masuk ke dalam Rumah Al-Arqom bin Abi Al-Arqam, bersama istrinya Fatimah binti Khattab.

Zaid banyak menanggung beban penyiksaan selama berada di jalan Allah, dimana keduanya yang menyebabkan Umar masuk Islam; saat Umar mendatangi rumahnya yang sedang membaca Al-Qur’an bersama Khabbab bin Al-Art, maka Umarpun mengambil Sohifah itu dari keduanya dan membaca isinya, hingga Allah memberikan kelapangan dadanya dan mengiklankan diri untuk masuk Islam.

Sa’id pernah hijrah ke Habsyah, kemudian Madinah, dan Rasulullah saw mempersaudarakan beliau dengan Ubay bin Ka’ab –semoga Allah meridloi keduanya-.

Rasulullah saw pernah mengutus beliau bersama Tolhah bin Ubaidillah untuk mengintai kafilah Quraisy yang pulang dari berniaga, dan saat keduanya melaksanakan tugas terjadilah perang Badar yang berakhir dengan kemenangan untuk kaum muslimin, kemudian keduanya pulang dan Rasulullah saw memberikan kepada keduanya bagian dari harta rampasan perang. Sa’id terkenal dengan keberaniannya dan kegagahannya, dan selalu mangikuti setiap peperangan.

“Wahai Allah jika Engkau mengharamkanku dari agama yg lurus ini janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.” . Zaid bin Amr bin Nufail berdiri di tengah-tengah orang banyak yg berdesak-desakan menyaksikan kaum Qurays berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum pria memakai serban sundusi yg mahal yg kelihatan seperti kerudung Yaman yg lbh mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna menyala dan mengenakan perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan dan ditarik orang-orang utk disembelih di hadapan patung-patung yg mereka sembah. Zaid bersandar ke dinding Kakbah seraya berkata “Hai kaum Qurays! hewan itu diciptakan Allah. Dialah yg menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yg menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan - hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian.” Al-Khattab ayah Umar bin Khottob berdiri menghampiri Zaid lalu ditamparnya Zaid. Kata Al-Khattab “Kurang ajar kau! kami sudah sering mendengar kata-katamu yg kotor itu namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dgn sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Mekah ke Bukit Hira. Al-Khattab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Qurasy utk menghalang-halanginya masuk kota. Karena itu Zaid terpaksa pulang dgn sembunyi-sembunyi. Kemudian Zaid bin Amr bin Nufail berkumpul ketika orang-orang Qurasy lengah bersama-sama dgn Waraqah bin Naufal. Abdullah bin Jahsy Utsman bin Harits dan Umaimah binti Abdul Muthallib bibi Muhammad saw. Mereka berbicara tentang kepercayaan masyarakat Arab yg sudah jauh tersesat. Kata Zaid “Demi Allah! sesungguhnya Saudara-Saudara sudah maklum bahwa bangsa kita sudah tidak memiliki agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yg lurus. Karena itu marilah kita pelajari suatu agama yg dapat kita pegang jika Saudara-Saudara ingin beruntung.” Keempat orang itu pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi Nasrani dan pemimpin-pemimpin agama lain utk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yg murni. Waraqah bin Naufal meyakini agama Nasrani. Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Sementara Zaid bin Amr bin Nufail mengalami kisah tersendiri. Marilah kita dengar ceritanya. Kata Zaid “Saya pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi keduanya saya tinggalkan krn saya tidak memperoleh sesuatau yg dapat menenteramkan hati saya dalam kedua agama tersebut. Lalu saya berkelana ke seluruh pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri Syam saya diberitahu tentang seorang Rahib yg mengerti ilmu kitab. Maka saya datangi Rahib tersebut lalu saya ceritakan kepadanya tentang pengalaman saya belajar agama.” Kata Rahib tersebut “Saya tahu Anda sedang mencari agama Ibrahim hai putra Mekah?”Jawabku “Betul itulah yg saya inginkan.”Kata Rahib “Anda mencari agama yg dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan seroang nabi di tengah-tengah bangsa Anda utk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu dgn dia tetaplah Anda bersamanya.” Zaid berhenti berkelana. Dia kembali ke Mekah menunggu nabi yg dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan pulang. Allah mengutus Muhammad menjadi nabi dan rasul dgn agama yg hak. Tetapi Zaid belum sempat bertemu dgn beliau dia dihadang perampok-perampok Badui di tengah jalan dan terbunuh sebelum ia kembali ke Mekah. Waktu dia akan menghembuskan napasnya yg terakhir Zaid menengadah ke langit dan berkata “Wahai Allah jika Engkau mengharamkanku dari agama yg lurus ini janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.” Allah memperkanankan doa Zaid. Serentak Rasulullah mengajak orang banyak masuk Islam Sa’id segera memenuhi panggilan beliau menjadi pelopor orang-orang beriman dgn Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad saw. Tidak mengherankan kalau Sa’id secepat itu memperkenankan seruan Muhammad. Sa’id lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yg mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Qurasy yg sesat itu. Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yg sepanjang hidupnya giat mencari agama yg hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yg hak. Sa’id masuk Islam tidak seorang diri. Dia masuk Islam bersama-sama istrinya Fathimah binti al-Khattab adik perempuan Umar bin Khattab. Karena pemuda Qurasy ini masuk Islam dia disakiti dan dianiaya dipaksa kaumnya supaya kembali kepada agama mereka. Usaha mereka tidak berhasil. Bahkan sebaliknya Sa’id dan istrinya sanggup menarik seorang laki-laki Qurasy yg paling berbobot baik fisik maupun intelektualnya dalam Islam. Mereka berdualah yg telah menyebabkan ‘Umar bin Khattab masuk Islam. Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yg muda utk berkhidmat kepada Islam. Ketika masuk Islam umurnya belum lbh dari dua puluh tahun. Dia turut berperang bersama Rasulullah dalam tiap peperangan selain peperangan Badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting lainnya yg ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian bersama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan kekaisaran Rum. Dalam tiap peperangan yg dihadapi kaum muslimin dia selalu memperlihatkan penampilan dgn reputasi terpuji. Agaknya yg paling mengejutkan ialah reputasinya yg tercatat dalam peperangan Yarmuk. Marilah kita dengarkan sedikit kisahnya pada hari itu. Berkata Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail “Ketika terjadi perang Yarmuk pasukan kami hanya berjumlah 24.000 orang sedangkan tentara Rum berjumlah 120.000 orang. Musuh bergerak ke arah kami dgn langkah-langkah yg mantap bagaikan sebuah bukit yg digerakkan tangah-tangan tersembunyi. Di muka sekali berbaris pendeta-pendeta perwira-perwira tinggi dan paderi-paderi yg membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca doa. Doa itu diulang-ulang oleh tentara yg berbaris di belakang mereka dgn suara mengguntur.” Tatkala tentara kaum muslimin melihat musuhnya seperti itu kebanyakan mereka terkejut lalu timbul rasa takut di hati mereka. Abu Ubaidah bangkit mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Kata Abu Ubaidah dalam pidatonya antara lain “Wahai hamba-hamba Allah! menangkan agama Allah pasti Allah akan menolong kamu dan memberikan kekuatan kepada kamu!” “Wahai hamba-hamba Allah! tabahkan hati kalian krn ketabahan adl jalan lepas dari kekafiran jalan mencapai keridaan Allah dan menolak kehinaan.” “Siapkan lembing dan perisai! tetaplah tenang dan diam kecuali mengingat Allah dalam hati kalian masing-masing. Tunggu perintah saya selanjutnya insya Allah!” Kemudian Sa’id melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu Ubaidah “Saya ingin syahid sekarang adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?” Jawab Abu Ubaidah “Ya ada! Sampaikanlah salam saya dan kaum muslimin kepada beliau. Katakan kepada beliau sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yg dijanjikan Tuhan kami!” Setelah mengucapkan kata-kata itu saya lihat dia menghunus pedang dan terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke tanah dan berdiri di atas lutut saya. Saya bidikkan lembing saya lalu saya melompat menghadang musuh. Tanpa terasa perasaan takut lenyap dgn sendirinya di hati saya. Tentera muslimin bangkit menyerbu tentara Rum. Akhirnya Allah memenangkan kaum muslimin. Sesudah itu Sa’id bin Zaid turut berperang menaklukan Damsyiq. Setelah kaum muslimin memperlihatkan kepatuhan Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id bin Zaid menjadi wali di sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai. Dalam masa pemerintahan Bani Umayah merebak suatu isu dalam waktu yg lama di kalangan penduduk Yatsrib terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni seorang wanita bernama Arwa binti uwais menuduh Sa’id bin Zaid telah merampas tanahnya dan menggabungkannya dgn tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu ke seantero kaum muslimin dan kemudian mengadukan perkaranya kepada Wali Kota Madinah Marwan bin Hakam. Marwan mengirim beberapa petugas kepada Sa’id utk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas fitnah yg dituduhkan kepadanya itu. Kata Sa’id “Dia menuduhku menzaliminya . Bagaimana mungkin saya menzaliminya padahal saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda “Siapa saja yg mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal nanti di hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Wahai Allah! dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yg dipersengketakannya dgn saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adl hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.” Tidak berapa lama kemudian terjadi banjir yg belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yg mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti Sa’idlah yg benar sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan sesudah itu wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yg dipersengketakannya dia pun jatuh ke dalam sumur. Kata Abdullah bin Umar “Memang ketika kami masih kanak-kanak kami mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain ‘Dibutakan mata kamu seperti Arwa’.” Peristiwa itu sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Karena Rasulullah saw. bersabda “Takutilah doa orang teraniaya. Karena antara dia dgn Allah tidak ada batas.” Maka apalagi kalau yg teraniaya itu salah seorang dari sepuluh sahabat Rasulullah saw. yg telah dijamin masuk surga Sa’id bin Zaid tentu lbh diperhatikan oleh Allah SWT.

Baliau termasuk seorang yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah, diriwayatkan bahwa Arwa binti Uwais telah melakukan kebohongan dengan menuduh beliau merampas sebagian tanah miliknya, kemudian perempuan itu pergi ke Marwan bin Al-Hakam yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah, dan mengadukan permasalahannya, maka Marwanpun mengutus seseorang kepada Sa’id untuk menghadap kepadanya, lalu Marwan berkata kepadanya : Sesungguhnya wanita ini menuduh engkau telah merampas tanahnya, Sa’id berkata : Bagaimana mungkin saya menzhaliminya sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang melakukan kezhaliman sejengkal maka akan ditimpakan kepadanya beban dari tujuh langit”. (Muttafaqun alaih), Marwan berkata : “Jadi engkau harus bersumpah”, Sa’id berkata : “Ya Allah jika wanita ini berdusta, maka janganlah engkau matikan dia kecuali matanya lebih dahulu buta, dan menjadikan kuburnya di sumur kemudian meninggalkan tanah yang diklaim sebagai miliknya kuburannya”. Setelah waktu berjalan, mata Arwa menjadi buta dan selalu dituntun oleh budaknya, dan pada suatu malam dia bangun dari tidurnya sedangkan budaknya belum bangun lalu berjalan dan dirinya tercebur ke dalam sumur yang ada di dalam rumahnya lalu mati dan dijadikan sumur itu sebagai kuburnya.

Sa’id adalah sahabat yang sangat terkenal dikalangan manusia, beliau mencintai mereka dan merekapun mencintainya, dan saat terjadi fitnah dikalangan umat Islam beliau tidak ikut di dalamnya, beliau sangat tekun dalam ketaatan kepada Allah dan beribadah kepada-Nya hingga akhir wafatnya pada tahun 51/52 Hijriyah dan dikuburkan di Madinah Al-Munawwarah.

Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.” (Do’a Zaid untuk anaknya Sa’id)

ZAID BIN ‘AMR BIN NUFAIL,(ayahada Said) berdiri dari orang banyak yang berdesak-desak menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka.Kaum pria memakai serban Sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman yang lebih mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna manyala, dan mengenakan perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan ditarik orang untuk disembelih di hadapan patung-patung yang mereka sembah.

Zaid bersandar ke dinding Ka’bah seraya berkata, “Hai kaum Quraisy! Hewan itu diciptakan oleh Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan, supaya hewan-hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama-Nya. Sungguh bodoh dan sesat kalian!”


Al Khatthab, ayah ‘Umar bin Khatthab berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al Khatthab, “Kurang ajar kau! Kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu. Namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Makkah ke bukit Hira’.

Al Khatthab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk kota. Karena itu Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.

Kemudian Zaid bin ‘Amr bin Nufail berkumpul — ketika orang-orang Quraisy lengah — bersama-sama dengan Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utsman bin Harits, dan Umaimah binti ‘Abdul Muthalib bibi Nabi Muhammad Saw. Mereka berbicara mengenai kepercayaan masyarakat ‘Arab yang sudah jauh tersesat. Kata Zaid, “Demi Allah! Sesungguhnya saudara-saudara sudah maklum bangsa kita sudah tidak mempunyai agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang lurus. Karena itu marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang jika saudara-saudara ingin beruntung.”

Keempat orang itu pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal meyakini agama Nasrani. ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Sedangkan Zaid bin ‘Amr bin Nufail mengalami kisah tersendiri. Marilah kita dengar ceritanya.

Kata Zaid, “Saya pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi keduanya saya tinggalkan karena saya tidak memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati saya dalam kedua agama tersebut. Lalu saya berkelana ke seluruh pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti Ilmu Kitab. Maka saya datangi Rahib tersebut, lalu saya ceritakan kepadanya pengalaman saya belajar agama.

Kata Rahib tersebut, “Saya tahu anda sedang mencari agama Ibrahim, hai putera Makkah.”

Jawabku, “Betul, itulah yang saya inginkan!”

Kata Rahib, “Anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan seorang Nabi di tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu dengan dia, tetaplah Anda bersamanya.”

Zaid berhenti berkelana. Dia kembali ke Makkah menunggu Nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan pulang, Allah mengutus Muhammad menjadi Rasul dengan agama yang hak. Tetapi Zaid belum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang perompak-perompak Badui di tengah jalan, dan terbunuh sebelum ia sampai kembali ke Makkah. Waktu dia akan menghembuskan nafas yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah! Jika Engkau mengharamkanku dari agama lurus ini, maka janganlah anakku Sa ‘id diharamkan pula daripadanya.”

SA’ID BIN ZAID

Allah memperkenankan do’a Zaid. Serentak Rasulullah mengajak orang banyak masuk Islam, Sa’id segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang yang beriman dengan Allah dan membenarkan kerasulan Nabi-Nya, Muhammad saw.

Tidak mengherankan kalau Sa’id secepat itu memperkenankan seruan Muhammad. Sa’id lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat itu. Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjang hidupnya giat mencari agama yang hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan mengejar agama yang hak.

Sa’id masuk Islam tidak seorang diri. Dia Islam bersama-sama isterinya, Fathimah binti Al Khatthab, adik perempuan ‘Umar bin Khatthab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan diani’aya, dipaksa oleh kaumnya supaya kembali kepada agama mereka. Tetapi jangankan orang Quraisy berhasil mengembalikan Sa’id suami isteri kepada kepercayaan nenek moyang mereka, sebaliknya Sa’id dan isterinya sanggup menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot baik pisik maupun intelektualnya masuk ke dalam Islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan ‘Umar bin Khatthab masuk Islam.

Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yang muda untuk berkhidmat kepada Islam. Ketika dia masuk Islam umurnya belum lebih dari dua puluh tahun. Dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan, selain peperangan Badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu tugas penting lainnya yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil bagian bersama-sama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan ke Kaisaran Rum. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin dia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Agakanya yang paling mengejutkan ialah reputasinya yang tercatat dalam peperangan Yarmuk. Marilah kita dengarkan sedikit kisahnya pada hari itu.

Berkata Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail, “Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami semuanya berjumlah 24.000 orang tentara. Sedangkan tentara Rum yang kami hadapi berjumlah 120.000 tentara. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi. Di muka sekali berbaris Pendeta-pendeta, Perwira-perwira tinggi/panglima-panglima, dan Paderi-paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca do’a. Do’a itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di belakang mereka dengan suaru mengguntur.

Tatkala tentara kaum muslimin melihat musuh mereka seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul takut di hati mereka. Abu ‘Ubaidah bangkit mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Kata Abu ‘Ubaidah dalam pidatonya antara lain, “Wahai hamba-hamba Allah! Menangkan agama Allah! Pasti Allah akan menolong kamu, dan memberikan kekuatan kepada kamu!

“Wahai hamba-hamba Allah! Tabahkan hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran; jalan mencapai keridhaan Allah, dan menolak kehinaan.

“Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dalam hati kalian masing-masing.

“Tunggu perintah saya selanjutnya! Insya Allah!”

Kemudian Sa’id melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu ‘Ubaidah, “Saya ingin syahid sekarang. Adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?”

Jawab Abu ‘Ubaidah, “Ya, ada! Sampaikan salam saya dan salam kaum muslimin kepada beliau. Katakan kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kami benar-benar terbukti!”

Sesudah dia mengucapkan kata-katanya itu, saya lihat dia menghunus pedang dan terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting diri ke tanah, dan berdiri di atas lutut saya. Saya bidikkan lembing saya, lalu saya tikam seorang melompat menghadang musuh. Tanpa terasa, perasaan takut lenyap dengan sendirinya di hati saya. Tentara muslimin bangkit menyerbu tentara Rum. Perang berkecamuk segera berkobar dengan hebat. Akhirnya Allah memenangkan kaum muslimin.

Sa’id bin menjadi wali kota Damsyiq

Sesudah itu Sa’id bin Zaid turut berperang menaklukkan Damsyiq. Setelah kaum muslimin memperlihatkan kepatuhan, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id menjadi Wali di sana. Dialah Wali Kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.

Di masa pemerintahan Bani Umaiyah, Sa’id bin Zaid dituduh merampas tanahnya yang saling berbatasan. Tuduhan tersebut digunjingkannya kepada kaum muslimin. Kemudian dia mengadu kepada Marwan bin Hakam Wali Kota Madinah ketika itu.

Marwan mengirim beberapa petugas menanyakan kepada Sa’id tentang tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya. Kata Sa’id, “Dia menuduh saya menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatas dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya.’ Wahai Allah! Dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhannya itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”

Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’idlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan antaranya sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur.

Kata ‘Abdullah bin Umar, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.”

Peristiwa itu sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Karena Rasulullah pernah bersabda: “Takutilah do’a orang teraniaya. Karena antara dia dengan Allah tidak ada batas.”

Maka apa pulakah lagi kalau yang teraniaya itu salah seorang dari sepuluh sahabat Rasulullah yang telah dijamin beliau masuk surga; Sa’id bin Zaid.
Sa’ad bin Abi Waqqash, Pemimpin Perang yang Tangguh
25 Juli 2009


Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, sementara manusia meninggalkan nama. Sehingga tampak keutamaan amal saleh semasa hidup seorang manusia...



Sa’ad bin Abi Waqqas adalah seorang pemuda keturunan Mekkah yang berasal dari keluarga yang terhormat. Ketika cahaya Islam memancar di kota Mekkah, Sa’ad sudah berusia belasan tahun. Ia terkenal sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Lagipula Sa’ad sangat mencintai ibunya. Tidak heran jika pada usia 17 tahun ia sudah memperlihatkan kecerdasan dan kejujurannya. Di usianya yang masih muda ia sudah pandai membuat busur panah dan berlatih perang-perangan. Yang lebih mengharukan adalah ia tak merasa puas dengan agama yang dianut penduduk Mekkah saat itu.

Perjalanan hidupnya cukup menggembirakan. Betapa tidak ketika Allah memberikan kabar bahwa Sa’ad adalah termasuk salah seorang dari keempat orang yang masuk islam pertama. Ini berarti ia termasuk orrang yang sangat beruntung di sisi Allah. Tetapi masuknya Sa’ad ke dalam Islam membuat banyak orang kafir marah, lantaran ia meninggalkan agama nenek moyangnya.

Tiga malam sebelum Sa’ad masuk islam, ia bermimpi seolah-olah tenggelam dalam kegelapan yang sangat mengerikan. Tetapi anehnya ketika ia masuk dan ia merasakan kegelapan yang amat sangat. Aku melihat sinar yang menerangi bumi Mekkah ini dengan terang sekali. Kemudian ia mengikuti sinar itu dan ia melihat ada 3 orang yang mendahuluinya. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Setelah beberapa saat berhenti ia melanjutkan ceritanya, saat ibuku mengetahui bahwa aku masuk Islam, Ibuku marah sekali. Ia memanggilku dan berkata : “Agama apa yang kamu anut itu, hai Sa’ad?”. Sa’ad menjawab dengan mantap : “Agama Islam wahai ibunda”. “Kenapa engkau meninggalkan agama bapak dan ibumu?” tanya ibunya dengan nada marah. Lalu ia melanjutkan kata”nya dengan nada mengancam : “Kalau engkau tidak kembali kepada agama ibumu lagi aku akan mogok makan sampai mati”.

Sa’ad berkata menenangkan, “Ibu engkau adalah dambaan hidupku. Jangalah ibu melakukan bunuh dirimu, karena perbuatan itu adalah dosa besar.” Namun ibunya tetap melakukan hal itu dengan harapan Sa’ad mau kembali lagi ke agamanya dan tidak meneruskan memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad.

Setelah sekian waktu, ketika Sa’ad menengok, ibunya masih melakukan aksi mogok makan, Sa’ad berkata dengan lembut, “Ibu sebaiknya tidak melakukan hal itu”. “Tidak, biar ibu mati saja, itu lebih baik”. Jawab ibunya. Kemudian Sa’ad melanjutkan kata”nya, “Sebenarnya anakmu mencintaimu wahai ibuku, tetapi anakmu lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Seandainya ibu mempunyai seribu nyawa pun, dan nyawa itu keluar dari jasad ibu satu persatu hingga habis, dan memaksa anakmu keluar lagi dari agama islam niscaya tidak akan aku lakukan”. Tegas Sa’ad. Ketika melihat bahwa Sa’ad bersungguh-sungguh, maka ibunya terpaksa mengalah. Begitulah keteguhan dan kesantunan Sa’ad dalam memeluk islam.


Kisah kali ini berkisar ketika Saad bin Abi Waqqas r.a menjadi gabenor di bumi Kufah, beliau dan para tentera muslimin sedang bersiap siaga untuk menggempur bumi Nahrawand pada tahun 20H.

Ketika itu, timbul sekelompok golongan dari penduduk Kufah yang mengadakan demostrasi(Dalam Kita bidayah Wan Nihayah, perkataan 'demonstrasi' digunakan) untuk memprotes Saad bin Abi Waqqas r.a. Mereka mendakwa bahawa Saad seorang yang solat tidak betul dan melapor-laporkan tindak tanduk Saad kepada Khalifah Amirul Mukminin ketika itu iaitu Umar ibn Al-Khattab r.a. Wakil yang dihantar ialah Al-Jirah bin Sinan dan penyokong-penyokongnya.

Tatkala berita itu disampaikan kepada Umar, beliau seakan-akan meragui kebenarannya namun tetap menghantarkan Muhammad bin Maslamah untuk memastikan berita yang sampai kepadanya tersebut. laporan Muhammad adalah bercanggah dengan aduan Al-jirah yang mengatakan penduduk Kufah memprotes Saad sebagai Gabenor mereka. Ternyata sebahagian besar dari Penduduk Kufah memuji Saad bin Abi Waqqas sebagai gabenor mereka. Mereka yang tidak senang dengan Saad itu hanyalah penyokong-penyokong Al-Jirah sahaja. Bila mereka ditanya tentang Saad, mereka hanya diam tanpa butir kata yang terbit dari mulut mereka.

Sehinggalah Muhammad bin Maslamah tiba di sebuah perkmapungan Bani 'Abs. Seorang lelaki bernama Abu Sa'adah Usamah bin Qatadah berbicara

" Jika engkau inginkan berita mengenai Saad, ketahuilah, Saad tidak pernah membahagikan dengan rata, tidak adil terhadap rakyatnya dan tidak pernah berperang bersama pasukannya"

Sa'ad yang mendapat tahu apa yang diucapkan oleh Abu Sa'adah tadi pun berdoa ke hadrat Allah

"Ya Allah, jika apa yang dikatakannya(Abu Sa'adah) adalah dusta, riya, dan kerana ingin dipuji, maka butakanlah matanya, banyakkan anaknya dan jatuhkan dia ke dalam fitnah dan jerat hawa nafsu yang menyesatkan"

Allah memperkenankan doa Saad. Tak lama kemudian, mata Abu Sa'adah menjadi buta, dia memiliki 10 orang anak perempuan, dan jika mendengar tentang wanita sahaja, dia akan berusaha untuk mendatangi wanita tersebut, dan menggodanya. jika dia tergelincir jatuh dia akan selalu berkata

"Aku terkena doa Sa'ad, Si lelaki yang penuh berkah"

Sa'ad juga mendoakan Al-Jirah dan sahabatnya yang juga telah memfitnah Sa'ad, maka seluruh mereka diserang penyakit di seluruh tubuh mereka dan mendapat bencana kehancuran pada harta mereka(tidak dicerita lebih lanjut dalam Bidayah Wan Nihayah bagaimana kisah mereka)

Apabila Sa'ad menemui Amirul mukminin, Umar al-Khattab, Amirul mukminin telah bertanya kepadanya tentang perihal solatnya, untuk memastikan kesahihan berita yang beliau terima. Sa'ad memberitahu Umar, bahwa Beliau memanjangkan dua rakaat yang awal dan memendekkan dua rakaat yang akhir, kemudian Sa'ad berkata

"Tidak sedikit pun aku berpaling dari tatacara solat yang diajar oleh Rasulullah s.a.w"

Umar menjawab

" Begitulah prasangkaku terhadapmu wahai Abu Ishaq(gelaran bagi Sa'ad)"

Sa'ad menyambung bicara

" Aku adalah orang kelima yang memeluk Islam, Kami pernah makan daun kayu ketika tidak menemukan lagi makanan sehingga mulut kami luka-luka, aku juga orang yang pertama memanah di jalan Allah, dan Rasulullah pernah mengumpulkan nama kedua ibubapaku untukku padahal baginda tidak pernah sebelumnya melakukan sebegitu kepada seorang pun. tapi kini Bani Sa'ad menganggap diriku tidak pandai solat dengan betul,(dalam riwayat lain, mencurigai keislaman Sa'ad). Jika benarlah apa yang diperkatakan mereka, binasalah aku dan sia-sialah amalanku."

Kemudian Umar bertanya siapa yang beliau cadangkan untuk mengganti beliau, Sa'ad memilih Abdullah bin Abdullah bin Itban, salah seorang tokoh sahabat yang sudah berumur. Umar lalu membenarkan pelantikan Abdullah sebagai pengganti Sa'ad menjadi Gabenor di Kufah.

Selepas itu, Hampir sahaja Sa'ad menuntut orang yang memfitnahnya agar dikenakan hukuman berat, namun beliau tidak berbuat begitu, kerana khuatir tindakanya itu akan mempengaruhi orang lain, dan menyebabkan kelak, orang akan menjadi takut untuk melaporkan tingkah laku para pemimpin mereka.

Umar pernah berkata dalam wasiatnya yang Sa'ad termasuk dalam tokoh penting dalam mesyuarat memilih khalifah

" Jika Jabatan khalifah ternyata jatuh kepada Sa'ad, maka ia berhak untuk itu, tetapi jika tidak maka siapa sahaja yang menjadi khalifah hendaklah selalu meminta tunjuk ajar dan nasihat dari Sa'ad, sesungguhnya aku memecatnya bukan kerana dia tidak sanggup memikul amanah, apatah lagi, kerana dirinya berlaku khianat"

.....
....
...
..

Sahabat-sahabat pembaca, sejarah islam itu akan berulang seperti mana Sunnatullah itu akan berulang,

فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا

sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu (35:43)

siapa sahaja yang memperjuangkan Islam sebagai satu Deen atau sistem hidup yang Haq, pasti akan menemui pelbagai fitnah dan mehnah di hadapannya oleh musuh-musuh Islam, bahkan dari muslim yang dengki terhadap pejuang Islam yang tulen dan kebangkitan Islam.

Namun, jika perjuangan Islam yang kita lalui itu, adalah laluan yang senang dan selesa, muhasabahlah kembali, apakah benar jalan yang kita pilih itu? atau sebenarnya ia hanyalah kaca dari timbunan kaca yang bersembunyi di dalamnya permata yang berharga.

Bagi mereka yang memusuhi agama Allah atau cuba-cuba memfitnah para pejuangnya,nantikanlah akibatnya!
Mungkin akibat itu tidak dizahirkan di dunia seperti apa yang berlaku kepada Abu Sa'adah dan Al-Jirah dalam kisah di atas. Namun, jangan lupa, hidup kita tidak sekadar di dunia. Akhirat nanti akan terzahir segalanya.

Janji Allah itu pastikan tiba!


Perang Al-Qadisiyyah (Kenali Sejarah Islam)

Pada tahun 636 M, Panglima Besar Sassanid, Rostam Farrokhzad mengetuai tentera Parsi dengan kekuatan 120,000 bagi menyeberangi Sungai Furat ke al-Qadisiyyah di Hilla, Iraq untuk menumpaskan tentera Islam. Rostam beranggapan kemaraan tentera Islam sudah terlalu hampir dengan ibu kota kerajaan Parsi Sassanid. Untuk itu, dia mengatur langkah untuk mencegah kemaraan ini dengan mengetuai seluruh angkatan perang Parsi untuk berperang di bumi Qadisiyyah. Para sejarawan menganggap tindakan beliau ini merupakan sebuah kesilapan besar dari segi taktikal kerana berhadapan dengan tentera Arab Islam di bumi mereka bukanlah keputusan yang bijak.

Khalifah Umar Al-Khattab mengutuskan 30,000 tentera dibawah arahan Panglima Besar Sa'ad ibn Abi Waqqas untuk menyerang tentera Parsi ini. Peperangan berlaku selama empat hari di mana pada awalnya tentera Islam berkuda tidak mampu berhadapan dengan tentera bergajah Parsi. Setelah dua hari diasak oleh tentera bergajah Parsi, Khalifah Umar mengarahkan Abu Ubaidah Al-Jarrah yang pada ketika itu berada di dalam siri Peperangan Islam-Rom Byzantine menghantar bantuan ketenteraan seramai 5,000 orang tentera pejalan kaki di bawah pimpinan Panglima Qa'qa ibn Amru. Qa'qa ibn Amru tiba pada malam pertempuran hari kedua. Ketika perbincangan dengan para panglima tentera, Qa'qa berpendapat tentera bergajah Parsi adalah ancaman utama bagi tentera Islam. Lalu, dia mencadangkan agar kuda-kuda dan unta-unta disolek dan dihias dengan hiasan yang menggerunkan. Taktik ini berjaya menakutkan gajah-gajah Parsi.

Pada hari ketiga, 1,000 orang tentera berkuda pimpinan Panglima Hisham ibn Utbah tiba. Di dalam tentera ini terdapat dua orang bangsa Parsi yang sudah memeluk Islam iaitu Dakhar dan Salam. Mereka mencadangkan belalai gajah perang milik kegunaan tentera Parsi hendaklah dipotong dan mata gajah tersebut hendaklah dibutakan bagi mengkucar-kacirkan tentera bergajah Parsi. Taktik ini berjaya. Pertempuran hari ketiga itu dikuasai oleh tentera Islam setelah tunjang utama kekuatan tentera Parsi iaitu tentera bergajah dapat ditewaskan.

Pada hari terakhir pertempuran, Panglima Besar Sa'ad ibn Abi Waqqas menyusun barisan tenteranya. Berbanding Khalid yang gemar menggunakan sepenuhnya tentera berkuda, kumpulan bersayap dan serangan balas yang pantas, Sa'ad lebih gemar menggunakan kumpulan pemanah. Penyusunan barisan tentera berkuda di hadapan, dan tentera pejalan kaki dengan bantuan kumpulan pemanah memberi kelebihan kepada tentera Islam. Sesuai dengan kemahirannya dalam memanah, Sa'ad ibn Abi Waqqas menggunakan sepenuhnya kumpulan pemanah di hari terakhir pertempuran yang membawa kepada kejayaannya di Qadisiyyah. Dalam peperangan ini, Bahman Jadu dan Rostam Farrokhzad terkorban dan inilah bermula titik tolaknya kejatuhan Empayar Parsi Sassanid.


Perang Qadisiyyah
Sebahagian dari Penyebaran Islam di Parsi

Tarikh
636M

Tempat
Sempadan Kufah, Iraq

Hasil
Kemenangan tentera Islam, kemusnahan tentera elit Parsi Sassanid

Perubahan
wilayah Sebahagian wilayah Parsi dikuasai oleh tentera Islam

Pihak bersengketa
Empayar Sassanid Khulafa al-Rasyidin

Komander
Rostam Farrokhzad, Bahman Jadu Sa'ad ibn Abi Waqqas, Qa'qa ibn Amru, Hisham ibn Utbah

Kekuatan
Sekitar 120,000

Korban dan kehilangan
Sekitar 70,000

10 Sahabat Mendapat Jaminan Syurga

Masuk Islamnya Zubair bin Awwam

Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab. Ibunya bernama Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Beliau termasuk salah seorang dari 7 orang yang pertama masuk Islam. Beliau memeluk agama Islam ketika dia masih berusia 8 tahun dan melakukan hijrah ketika berusia 18 tahun. Berperawakan tinggi dan berkulit putih. Namun ada juga yang mengatakan bahwa perawakan Zubair tidak termasuk sangat tinggi dan juga tidak tergolong pendek dan bukan termasuk orang yang berbadan gemuk. Ada yang mengatakan bahwa warna kulitnya sawo matang, memiliki banyak bulu badan, dan kedua pipinya tidak penuh terisi daging. Ketika pamannya Naufal bin Khuwailid mengetahui perihal Zubair telah masuk Islam, beliau sangat marah dan berusaha menyiksanya, pernah beliau dimasukkan dalam karung tikar, kemudian dibakar, dan dia berkata kepadanya,“lepaskan dirimu dari Tuhan Muhammad, maka saya akan melepaskan dirimu dari api ini.” Namun Az-Zubair menolaknya dan berkata kepadanya, “Tidak, demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya.”
[Ilustrasi] Ilustrasi

Suatu hari beliau mendengar isu yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad saw telah meninggal, maka dia keluar menuju jalan-jalan di Mekkah sambil menghunuskan pedangnya, dan memecah barisan manusia, lalu pergi mencari kepastian dari isu ini dan berjanji jika isu itu benar dia akan membunuh orang yang telah membunuh Rasulullah saw, akhirnya beliau bertemu dengan Rasulullah saw di utara Mekah, maka saat itu Rasulullah saw berkata kepadanya,“ada apakah engkau gerangan ?” dia berkata,“Saya mendengar kabar bahwa engkau telah terbunuh,” Nabi berkata kepadanya,“Lalu apa yang akan engkau lakukan?” dia berkata,“Saya akan membunuh orang yang telah membunuhmu.” Setelah mendengar hal tersebut beliaupun bergembira dan mendoakannya dengan kebaikan dan pedanganya dengan kemenangan. (Abu Nu’aim), beliau juga merupakan orang yang pertama menghunuskan pedangnya di jalan Allah.


Perjuangan Zubair bin Awwam dalam Islam

Zubair bin Awwam pernah ikut berhijrah ke Habsyah bersama orang-orang hijrah dari kaum muslimin, dan beliau tetap tinggal disana hingga Rasulullah saw mengijinkannya untuk kembali ke Madinah. Beliau selalu mengikuti peperangan bersama Rasulullah saw, setelah perang Uhud dan orang-orang Quraisy kembali ke Mekah, Rasulullah saw mengirim 70 orang sahabat untuk mendampingi dirinya, termasuk di dalamnya Abu Bakar As Siddiq dan Zubair bin Awwam. (Al-Bukhari). Pada perang Yarmuk, Zubair bertarung dengan pasukan Romawi, namun pada saat tentara muslim bercerai berai, beliau berteriak : “Allahu Akbar” kemudian beliau menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, anaknya Urwah pernah berkata tentangnya,“Zubair memiliki tiga kali pukulan dengan pedangnya, saya pernah memasukkan jari saya didalamnya, dua diantaranya saat perang badar, dan satunya lagi saat perang Yarmuk. Salah seorang sahabatnya pernah bercerita,“Saya pernah bersama Zubair bin Awwam dalam hidupnya dan saya melihat dalam tubuhnya ada sesuatu, saya berkata kepadanya,"demi Allah saya tidak pernah melihat badan seorangpun seperti tubuhmu," dia berkata kepada saya,"demi Allah tidak ada luka dalam tubuh ini kecuali ikut berperang bersama Rasulullah saw dan dijalan Allah." Dan diceritakan tentangnya,"Sesungguhnya tidak ada gubernur/pemimpin, penjaga dan keluar sesuatu apapun kecuali dalam mengikuti perang bersama Nabi saw, atau Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan." Saat terjadi pengepungan atas Bani Quraidzah dan mereka tidak mau menyerah, Rasulullah saw mengutus beliau bersama Ali bin Abu Thalib, lalu keduanya berdiri di depan benteng dan mengulangi kata-katanya,“Demi Allah kalian akan merasakan seperti yang telah dirasakan oleh Hamzah, atau kami akan menaklukkan benteng ini.” Nabi saw pernah berkata tentangnya,“Setiap Nabi punya pendamping dan penolong, dan pendamping saya adalah Zubair.” (Muttafaqun alaih). Beliau juga sangat bangga dengan ucapan Rasulullah saw saat terjadi perang Uhud dan perang Bani Quraidzah,“lemparkanlah panahmu yang taruhannya adalah bapakku dan ibuku”. Sayyidah Aisyah pernah berkata kepada Urwah bin Az-Zubar,“sesungguhnya kedua orang tuamu merupakan orang yang mengikuti seruan Allah dan Rasul-Nya setelah tertimpa kepada keduanya luka," (maksudnya adalah Abu Bakar dan Az-Zubair). (Ibnu Majah).


Sifat Zubair bin Awwam

Zubair bin Awwam juga merupakan seorang yang terhormat dan mulia, selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah, Ka’ab berkata tentangnya,“Az-Zubair memiliki 1000 macam kekayaan yang dikeluarkan untuk berperang, dan tidak ada uang satu dirhampun yang masuk kerumahnya," (maksudnya hartanya disedekahkan seluruhnya), beliau mensedekahkan seluruh hartanya sampai ia mati dalam keadaan berhutang, dan mewasiatkan kepada anaknya untuk membayarkan hutangnya, dan beliau berkata kepadanya,“jika engkau tidak sanggup membayar hutang saya, maka mintalah tolong kepada Tuanku,” Abdullahpun bertanya,“Siapakah yang engkau maksud dengan Tuan?" beliau menjawab,"Allah, Dialah sebaik-baik pemimpin dan penolong.” Lalu setelah itu Abdullah berkata,“Demi Allah saya tidak pernah mengalami kesusahan dalam membayar hutangnya, kecuali saya berkata,'Wahai Pemimpin/pemilik Zubair bayarlah hutang Zubair,' maka Diapun menggantinya." (Al-Bukhari). Walaupun beliau selama hidupnya selalu bersama Rasulullah saw namun beliau tidak banyak meriwayatkan haditsnya kecuali sedikit, anaknya Abdullah pernah bertanya akan sebab tersebut, maka diapun berkata,“Walaupun antara saya dan Rasulullah saw memiliki hubungan keluarga dan kerabat namun saya pernah mendengar beliau pernah bersabda,'Barangsiapa yang berkata dusta atasku dengan sengaja, maka akan ditempatkan di neraka.'” (Al-Bukhari). Karena itu dia sangat takut meriwayatkan hadits yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah saw sehingga tergelincir ke dalam neraka.


Anak dan istri Zubair bin Awwam

Nama Putra dan putri Az-Zubair adalah Abdullah, Urwah, Al Mundzir, Ashim, Al Muhajir, Khadijah Al Kubra, Ummul Hasan, dan Aisyah. Semua anak Az-Zubair ini berasal dari istrinya yang bernama Asma' binti Abu Bakar. Sedangkan anak-anaknya yeng bernama Khalid, Amru, Habibah, Saudah, dan Hindun berasal dari istrinya yang bernama Ummu Khalid. Nama asli wanita ini adalah Amah binti Sa'id bin Al Ash.

Anak-anaknya yang bernama Mush'ab, Hamzah, dan Ramlah berasal dari istrinya yang bernama Ar-Rabab binti Anif bin Ubaid. Anaknya yang bernama Ubaidah dan Ja'far berasal dari istrinya, Zainab. Putrinya yang bernama Zainab berasal dari istrinya , Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith. Putrinya lagi yang bernama Khadijah Ash-Shugra berasal dari istrinya, Al Halal binti Qais.


Wafatnya Zubair bin Awwam

Saat Zubair bin Awwam keluar dalam perang Al-Jamal, seseorang dari kaum Tamim bernama Amru bin Jarmuz mengikuti beliau dan membunuhnya dari belakang di suatu tempat yang bernama lembah Siba. Lalu pergi ke Imam Ali bin Abu Thalib dengan menduga bahwa dia telah membawa kabar gembira, setelah mengetahui hal tersebut Imam Ali bin Abu Thalib berteriak dan berkata kepada pembantunya,“Berikan kabar kepada pembunuh putra Sofiyyah dengan neraka, sungguh Rasulullah saw pernah bersabda kepada saya bahwa pembunuh Zubair adalah penghuni neraka.” (Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan At-Thobroni). Zubair bin Awwam wafat pada hari Kamis bulan Jumadil Awwal tahun 36 Hijriyyah, sedangkan umurnya saat itu 66/67 tahun.

Setiap kali nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.

Sewaktu Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”

Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.

Thalhah dan Zubair mempunyai banyak kesamaan dalam menjalani roda kehidupan. Masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan keberanian mereka hampir sama. Keduanya termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, dan termasuk sepuluh orang yang dikabarkan oleh Rasul masuk surga, termasuk enam orang yang diamanahi Khalifah Umar untuk memilih khalifah pengganti. Bahkan, hingga saat kematian keduanya sama persis.

Seperti yang telah kita sebutkan, Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diebri petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat remaja.

Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.

Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.

Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.

Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.

Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.”

Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”

Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.

Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.

Marilah kita dengarkan cerita seorang rekannya yang melihat bekas luka yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya.

“Aku pernah bersama Zubair bin Awwam dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, yang kulihat ditubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain.’ Ia menjawab, “Demi Allah, semua luka-luka ini kudapat bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.”

Seusai Perang Uhud, dan pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.

Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.

Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.

Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”

Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.

Disebutkan dalam buku sejarah, “Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Ia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.”

Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang.

Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.

Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah, di Perang Uhud, di Perang Uhud. Ia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Ia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.
***

Ketika pengepungan terhadap bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan hamzah. Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.
***

Di perang hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.

Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”

Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira, dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.

Sungguh tepat apa yang dikatakan Hasan bin Tsabit ketika melukiskan sifat-sifatnya.
Janjinya kepada Nabi selalu ia tepati
Atas petunjuk Nabi ia berbakti
Dialah sang pembela sejati
Kata dan perbuatannya bagai merpati

Di jalan Nabi, ia berjalan
Bela kebenaran sebagai tujuan

Jika api peperangan sudah menyala
Dialah penunggang kuda tiada dua
Dialah pejuang tak kenal menyerah

Dengan Rasul, masih keluarga
Terhadap Islam, selalu membela

Pedangnya selalu siaga
Kala Rasul dihadang bahaya
Dan Allah tidak ingkar pada janji-Nya
Memberi pahala tiada terkira
***

Ia seorang yang bebrudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan.

Ia seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang.

Kedermawanan, keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya u. Islam.

Sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi utangnya.”

Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir.

Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair.

Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair.

Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”

Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.”
***

Adakah kata yang lebih indah dari kata-kata Khalifah Ali untuk melepas kepergian Zubair?
Salam sejahtera untukmu, wahai Zubair, di alam kematian.